Tesis dari Samuel P. Huntington, seorang penulis Yahudi, menimbulkan munculnya diskusi yang hangat serta beberapa kontroversi yang mencuat di dunia internasional. Landasan berpikir dari prediksi ini berangkat dari adanya konflik yang terjadi antara Islam sebagai wakil peradaban Timur dan Kristen sebagai wakil peradaban Barat. Dalam pandangan Huntington, perbenturan antara Islam dan Kristen disebabkan oleh adanya perbedaan konsep pandangan hidup dan juga konsep ketuhanan, meskipun keduanya sama-sama monoteistik. Perbedaan fundamental seperti ini juga diwarnai semangat dari kedua peradaban untuk menjadi umat terbaik yang menjadi pemimpin peradaban dunia

Salah satu momentum besar yang sangat penting dalam konteks isu perbenturan peradaban (clash civilization) terjadi pada tanggal 11 September 1999. Terlepas dari siapa yang merekayasa, hal ini telah dimanfaatkan Amerika untuk menekan negara-negara muslim. Amerika melakukan serangkaian tindakan yang mengatasnamakan “perang melawan teroris” (baca:perang terhadap Islam). Menurut Amerika, hal ini dilakukan dalam rangka memperjuangkan pilar-pilar demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia. Padahal perjuangan mereka justru dinilai sebaliknya oleh para ahli demokrasi, hokum, maupun hak asasi manusia. Bahkan tak jarang pemerintahan Bush dikecam dan didemo oleh para warga negaranya sendiri yang justru menyebut pemerintahan Bush tersebut sebagai teroris

Kejadian 11 September 1999 meninggalkan dampak yang sangat krusial bagi umat Islam. Kejadian kritis ini meletakkan umat Islam sebagai pusat dari opini public internasional. Dampak yang terjadi sangat meluas, mulai dari yang mendukung maupun yang melemahkan keniscayaan bangkitnya peradaban Islam. Dampak yang melemahkan atau negative berkaitan dengan opini “teroris” yang menjadi stereotip yang kental ditempelkan pada wajah setiap umat muslim. Sedangkan dampak pendukung dan positifnya adalah semakin banyak dan meluasnya minat dunia internasional, khususnya Barat untuk mengenal Islam lebih jauh.

Secara politis, umat Islam telah diletakkan sejajar oleh Amerika dan sekutunya untuk menjadi lawan tanding. Jika Amerika dan sekutu menggunakan strategi “perang dingin” dalam menaklukan Uni Soviet (komunisme dan sosialisme), maka mereka saat ini memiliki strategi agresif dalam memerangi beberapa negara muslim. Namun dalam tata karma internasional, pola agresif yang dilancarkan oleh Amerika ternyata tidak populer pada kebanyakan dari negara-negara di seluruh dunia. Berbagai protes pun terus berdatangan menghujam Negara Paman Sam tersebut. Tidak hanya dari kalangan muslim, orang-orang non-muslim pun ikut turun ke jalan dalam rangka memperjuangkan hak asasi manusia yang telah di’pelinti’ oleh kepentingan politik Amerika.

Dalam kondisi kritis dan krusial seperti ini, justru umat Islam memiliki peran strategis. Meskipun pada saat ini opini media (yang memang kebanyakan dikuasai Amerika) sering menjatuhkan umat Islam, namun hal inilah yang kemudian harus kita follow up dalam rangka penyebaran syiar Islam. Pengobjekan yang dilakukan oleh media Barat justru akan menjadi senjata ampuh umat Islam untuk menyuarakan kebenaran melalui rasa keingintahuan dunia internasional.

Dalam era globalisasi seperti ini, perlu dikaji begitu besarnya peluang Islam menjadi pemimpin peradaban. Pengkajian ini merupakan penelusuran potensi besar umat Islam pada saat globalisasi yang saat ini menjadi doktrin dunia internasional. Globalisasi yang saat ini ternyata menimbulkan dehumanisasi dalam perkembangan sejarah manusia, juga merupakan peluang umat Islam untuk berkarya mengatasi keadaan. Ajaran-ajaran Islam yang humanis merupakan sebuah muatan dahsyat yang dapat menyentuh sisi kemanusiaan.

Saat ini umat Islam harus bergerak dan tidak terpaku pada kegagalan masa lalu. Peran strategis negara-negara muslim dalam penguasaan berbagai bidang telah menjadi modal yang besar dalam menyambut kebangkitan Islam. Untuk itu penelaahan keilmuan yang berbasis kauniyah harus terus digali dalam rangka mengedepankan ikhtiar menjadi competitor bagi Barat yang saat ini masih menjadi pusat pengembangan keilmuan. Basis pengokohan cultural juga menjadi agenda yang penting untuk membentuk karakter masyarakat. Sehingga pada akhirnya mobilitas umat Islam baik secara vertikal maupun horizontal dapat menjadi sinergis dalam membangun peradaban yang rahmatan lil alamin.