Beretorika dan berdebat dengan mengendarai gerbong-gerbong logika, bagai berjalan mencari jenak waktu terakhir, namun terus tergelincir mengitari rute bulat susunan argumentasi. Semuanya akan kembali ke titik masing-masing, meski berlari hakikatnya diam terkekang. Kebebasan berfikir sebagai sebuah roman humanisme akan terkelupas topengnya yang merupakan sebuah teralis pengekangan pemikiran jika kita tidak berhasil melepas belenggu dikotomis pemfungsian akal dan hati yang sebenarnya harus diintegrasikan.

Kita memiliki tiga potensi inti, yaitu hati, akal, dan fisik. Ketiga potensi ini telah terbahas jauh sebelum ada rumusan tentang ilmu-ilmu kejiwaan yang sistematis atau sekarang dikenal dengan psikologi. Bahasan ini termaktub dalam definisi ‘iman’ yang dengat elegan dikemukakan oleh inspirator paling berpengaruh di dunia, Rasulullah Muhammad SAW.

“Membenarkan dalam hati, mengikrarkan secara lisan dan mengamalkan dengan perbuatan.”

Definisi ini berhasil menyejukkan hati dengan kelembutannya, memandu geliat akal dengan logikanya, bahkan mampu mempropaganda fisik untuk memaksimalkan gerak hingga tak ada celah bagi letih, lelah, dan kantuk untuk mengelabui…